Taat Yang Wajib Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadits Adalah Ketaatan Kepada Para Pemimpin Kaum Muslimin

Taat Yang Wajib Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadits Adalah Ketaatan Kepada Para Pemimpin Kaum Muslimin
www.islamimasakini.com

"Taat Yang Wajib Dalam Al-Qur'an Dan Al-Hadits Adalah Ketaatan Kepada Para Pemimpin Kaum Muslimin" ketegori Muslim.
Taat Yang Wajib Dalam Al-Qur'an Dan Al-Hadits Adalah Ketaatan Kepada Para Pemimpin Kaum Muslimin
Kategori Bai'at Sunnah Dan Bid'ah
Sabtu, 14 Februari 2004 13:56:58 WIB
AL-BAI'AH BAINA AS-SUNNAH WAL AL-BID'AH 'INDA AL-JAMA'AH AL-ISLAMIYAH
[BAI'AT ANTARA SUNNAH DAN BI'DAH]
Oleh
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
Bagian Kedua dari Sembilan Tulisan [2/9]
PENGANTAR [2/3]
Saya berkata, "Di bawah ini ialah manhaj yg ilmiah dan benar yg wajib untuk diikuti, dan menapaki agar terwujud kesatuan wawasan di antara kaum muslimin. Bukan manhaj tambal sulam, krn yg demikian itu tdk terdpt dalam agama Allah sedikitpun!".
Barangkali kritik dan koreksi ini akan dibantah/ditentang oleh para penulis Islam, lebih-lebih yg lainnya. Bahkan dianggap sebagai pengrusakan dan penghancuran. Kemudian mengatakan : "Adapun orang-orang yg ambisi pada diri-diri mereka sendiri untuk memperbaiki langkah disela-sela pengrusakan terhadap (akidah, -ed) jama'ah, yaitu memulai dari titik nol, maka kami katakan kpd mereka : "Sungguh kalian telah ketinggalan kereta, krn titik permulaan telah ada sejak lima puluh tahun sebelum ditulis tulisan ini. Memperbaiki langkah ialah dari dalam, dgn maksud membangun bukan menghancurkan!"[1]
Benarkan perbaikan itu tdk akan bisa kecuali dari dalam ?
Apakah ucapan ini dari dalil-dalil petunjuk ? Atau ha sekedar hasil eksperimen seseorang saja ?
Yang lain berkata dgn menjelaskan penyebab timbul orang yg berguguran di jalan dakwah menurut persangkaannya. Dia mengatakan :"Sebab keempat : Tekanan gerakan-gerakan bawah tanah.
Di antara hal-hal yg menyebabkan gugur kebanyakan orang di jalan Islam dan dakwah ialah berkaitan dgn gerakan-gerakan bawah tanah yg disaksikan oleh perjalanan Islam. Gerakan ini pekerjaan tdk lain hanyalah memberi keraguan dan kritik. Seakan-akan dia diberi kepercayaan dan kekuasaan untuk menghancurkan gerakan-gerakan Islam dgn menggnkan nama Islam. Maka di setiap penjuru, dari masa ke masa akan muncul kelompok-kelompok yg berbeda dgn nama Islam merusak kemampuan intelektual para pemuda, meniadakan peran serta mereka dan meracuni udara-udara mereka…. Betapa banyak fenomena ini merusak akal yg sebelum sehat dan memadamkan cahaya yg sebelum menyala serta menghilangkan kekuatan yg sebelum bisa menghasilkan (produktif).[2]
Kemudian apa sebab utama bagi pandangan yg gelap seperti ini terhadap masalah kritik, perbaikan dan membongkar kesalahan-kesalahan ?
Menurut keyakinan sebab utama ialah krn gerakan Islam terpengaruh -sampai batas tertentu- dgn suasana kehidupan partai yg ada di negara-negara Arab pada masa sekarang ini. Sehingga karakter gerakan Islam dan metode -hampir sama sebagian waktu [3] - terkotori dgn ruh hizbiyyah yg sempit, yg tdk sesuai dgn keadaan dan suasana keterbukaan dan kemanusiaan dalam Islam.[4]
Bahkan termasuk malapetaka bagi gerakan Islam, serta kemunduran dan kekacauan cara kerja ialah ada pemikiran hizbi. Sehingga jika suatu tanzhim (kelompok/organisasi) ingin merekrut anggota akan menggnkan dalih ketaatan, tdk boleh membantah dan hrs mengikuti perintah-perintah. Menurut mereka inilah yg dinamakan dgn loyal. Demikian pula sebaliknya.
Dari hasil metode pengajaran semacam ini ialah muncul suatu generasi atau sekelompok besar dari para pemuda yg ha menunggu perintah saja, sehingga terhalang dari pembaharuan dan kedinamisan. Padahal pembaharuan mrpk rahasia yg akan mengangkat dakwah. Sebalik akan rugi sebagian kelompok yg unsur terpenting dari dominan ialah mengadakan pembaharuan.[5]
Perkataan kami tentang ketaatan (di dalam harakah -ed) bukanlah suatu perkataan yg baru, bahkan mrpk realita yg bisa disaksikan. Ditulis serta dibukukan. Sehingga kita bisa temukan pada tulisan mereka bahwa aturan dakwah pada tahap pembentukan ialah sufi murni dan segi ruh dan militer murni dari segi pergerakan. Dan syiar bagi kedua segi ini ialah perintah dan taat, tdk boleh membantah dan ragu, serta tdk boleh beralasan. Bahkan ide yg pertama kali muncul pada tahap persiapan ini ialah ketaatan yg sempurna. Tidak menjamin keberhasilan pada tahap ini kecuali sempurna ketaatan. Atas dasar inilah barisan yg pertama mengambil bai'at dari ….." [6]
Padahal taat yg wajib dan terdpt di dalam ayat-ayat Al-Qur'an dan Al-Hadits ialah ketaatan kpd para pemimpin kaum muslimin (amirul mukminin) atau yg mewakilinya. Bukan ketaatan kpd segolongan manusia ata salah satu kelompok dari jama'ah-jama'ah yg ada. Walaupun demikian, tdk mungkin untuk disyaratkan dgn kata-kata "Tidak boleh membantah dan ragu serta tdk boleh beralasan" lebih-lebih dgn "taat yg sempurna"[7] yg semesti ha diberikan kpd Allah dan Rasul-Nya. Karena termasuk dari ketentuan-ketentuan agama ini ialah bahwa taat itu hendak pada hal-hal yg sudah jelas dan ukuran standardnya-pun tepat. Dan ini bukan termasuk bid'ah serta perkara yg diada-adakan, bahkan mrpk jejak langkah generasi terbaik (salafus ash-shalih). Abu Bakar ash-Shiddiq, -salah satu khalifah yg lurus, dan orang yg bersama Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika di gua, serta Rasulullah memerintahkan kpd kita untuk mengikuti sunnah - beliau berkata di awal pidato dari atas mimbar pertanggungjawaban : "Taatlah kalian kpdku selama aku taat kpd Allah. Jika aku maksiat kpd-Nya maka tdk ada kewajiban atas kalian untuk taat kpdku" [8]
Ini ialah mrpk pelajaran bagi orang yg bertanggung jawab dipusat kepemimpinan dan pemerintah, yaitu tdk mewajibkan untuk taat kpd kecuali jika dia mentaati perintah-perintah Allah dan berpegang teguh dgn manhaj (Ahlus Sunnah wal-Jama'ah). Merupakan pelajaran pula bagi orang awam agar semua indera selalu waspada dan hendak diapun memiliki ilmu yg sempurna tentang manhaj, serta tdk ada kewajiban bagi untuk taat kecuali pada hal-hal yg ma'ruf.[9]
Kalau begitu, permasalahan sekarang bukan krn berprasangka, menuduh, atau mengada-ada, tetapi mrpk hakekat yg nyata dan bisa dirasakan, yaitu pada saat dua orang yg berbeda kelompok saling berjumpa kemudian saling mengemukakan pandangan-pandangan pasti akan timbul perselisihan. Sebab ruh hizbiyyah dan ta'ashub bisa memunculkan suasana yg aneh tatkala bertemu. Sehingga dia tdk melihat keadaan sekitar kecuali dgn warnanya. Pada giliran dia tdk melihat ada kemungkinan salah padanya, diserta perasaan benar terhadap yg dia bawa. Bahkan merasa bahwa kebenaran mutlak ada pada dan kesalahan mutlak ada pada orang lain [10]
Sebetulnya, pertemuan semacam ini mustahil dpt terjadi, krn seorang hizbi pasti bersikukuh memegangi pendpt (walaupun terbatas), serta bersikeras untuk mengamalkan pendptnya. Mengingat kelompok-kelompok kajian yg bersifat intern selalu melakukan pengkhususan dan pendalaman terhadap pendpt-pendpt tersebut, membela dan berusaha untuk melumpuhkan pendpt yg menyelisihinya. Karena akal pikiran seorang hizbi dibentuk untuk mempunyai satu pandangan saja, bukan karakter akal yg berkesinambungan. Demikian pula, bagi seorang hizbi, cenderung berkumpul bersama teman-teman almamaternya, arti teman-teman satu sekolahan untuk melakukan pembentukan pribadi (bukan dgn ilmu, -ed). Sehingga ketika dia berkumpul dgn orang-orang di luar kelompoknya, maka diapun akan terisolir dari mereka dan diapun menjaga jarak dgn mereka dgn menahan diri sebelumnya. Ketika sudah dimulai pembahasan, ia merasa menderita dan tertekan. Jika berkembang pada perdebatan dia pun akan menghindar. Karena itulah suasana pertemuan penuh dgn basa-basi, dan ha sekedar menghabiskan waktu. Atau penuh pergulatan dan tarik menarik, sehingga ada kala seorang hizbi tersebut tetap sebagai unsur pelaksana murni yg tdk mau berfikir banyak atau jatuh pada tarikan yg terus menerus (kalah dalam berdebat), lalu kembali (ruju'). Atau berhenti aktif dan meninggalkan kelompok secara praktik (arti secara kenyataan tdk dgn pengumuman resmi) atau terus berkembang secara lambat laun sehingga melewati tangga hizbiyyah, baik dalam keadaan tetap memegangi pemikiran hizbiyyah atau meninggalkan hizb tersebut menuju tempat yg jauh dan suasana baru, khusus berkaitan dgn orang-orang yg mempelajari masalah kemanusiaan. Dan dalam medan berfikir ini, yg berkumpul kebanyakan berasal dari kalangan penulis yg sebelum mempunyai latar belakang hizbiyyah, lalu melewati tangga hizbiyyah tersebut [11] . Ini bukan berarti kekalahan, "gugur" atau tenggelam atau istilah-istilah lain yg diberikan kpd orang yg keluar dari hizb tertentu, krn istilah tersebut menyelisihi pemikiran yg bersandar pada Al-Kitab dan As-Sunnah. Oleh krn itu, maka apabila seorang muslim mendpti jalan yg salah, lalu dia bermaksud (setelah memberikan keterangan dan ditolak ucapannya) untuk meninggalkan kesalahan tersebut, maka ini ialah haknya. Akan tetapi tdk dikatakan keluar dari bai'at, tdk pula terlepas dari agama atau kembali pada masa jahiliyyah dan seterus dari ungkapan-ungkapan semisalnya.[12]
[Disalin dari kitab Al-Bai'ah baina as-Sunnah wa al-bid'ah 'inda al-Jama'ah al-Islamiyah, edisi Indonesia Bai'at antara Sunnah dan Bid'ah oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid, terbitan Yayasan Al-Madinah, penerjemah Arif Mufid MF.]
_________
Foote Note.
[1] Al-Madkhal ila Da'wah al-Ikhwan al-Muslimin, hal.30, Sa'id Hawa
[2] Al-Mustaqitun 'ala Thariq al-Da'wah, hal.124-128, Fathi Yakan
[3] Bahkan pada umumnya
[4] Musykilat ad-Da'wah wa ad-Da'iyah, hal.132, Fathi Yakan
[5] Fi an-Naqdi al-Dzati, hal.228, Khalis Jalbi
[6] Majmu'ah Rasa'il al-Syaikh Hasan al-Banna, hal.274
[7] Dan Ahmad Abdul Mun'im al-Badri di dalam buku At-Tanzhim al-Haraki fi al-Islam, berdalil atas semua itu dgn ucapan yg dinisbatkan kpd Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu. Dan banyak para da'i jama'ah-jama'ah yg menukil perkataan tersebut di dalam khutbah-khutbah dan ceramah-ceramah mereka, yaitu : "Tidak ada Islam dgn jama'ah, dan tdk ada jama'ah kecuali dgn ada keamiran dan tdk ada keamiran kecuali dgn taat" Dia (Ahmad Abdul Mun'im) menyebutkan pada halaman 3 awal dari kalimat ini, yaitu : "Marsu'ah al-Hadharah al-Islamiyyah" Padahal atsar tersebut diriwayatkan oleh Imam Ad-Darimi di dalam Sunan- (I/79), dan tdk shahih dari Umar. Karena di dalam sanad ada Shafwan bin Rustum. Imam Dzahabi berkata di dalam al-Mizan (II/316) :"(Shofwan) tdk dikenal (majhul). " Dan al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam al-Lisan (III/191) menukil dari al-Azdi : "Bahwa dia (Shofwan) munkarul hadits". Aku berkata : "Seandai atsar itu shahih, maka dibawa (sebagai dalil) -dgn mengumpulkan semua nash-nash- atas keamiran kaum mukminin. Sayg atsar tersebut tdk shahih.
[8] Lihat Kanzul 'umul (5/601)
[9] Nadzarat fi Masirah …hal.22-23, Umar Ubaid Hasanah
[10] Fi an-naqd al-Dzati, hal.35 Khalish Jalbi
[11] Fi an-Naqd al-Dzati, hal.247-248, Khalish Jalbi
[12] Fiqh al-Dakwah al-Islamiyyah wa Musykillah ad-Du'at, hal.34, Muhammad Ghazali